BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Parpol
mulai dikenal dalam bentuk yang modern di Eropa dan Amerika Serikat sekitar
abad ke 19, bersamaan diperkenalkannya sistem pemilihan dan parlementer.
Sepanjang perkembangan dan kemajuan sistem pemilihan dan parlemen ini maka
berkembang pula sistem kepartaian politik. Istilah parpol yang melekat
dipergunakan untuk setiap bentuk kelompok organisasi yang bertujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik baik melalui pemilu yang demokratis atau melalui
revolusi.
Sebagai
Negara yang demokrasi, bagi Indonesia partai politik tidaklah asing. Banyak
partai politi yang tumbuh dan berkembang di Negara demokrasi. Meskipun partai
politik bukanlah salah satu petinggi Negara yang menjalankan pemerintahannya,
namun posisi partai politik di Negara demokrasi amatlah penting, meski hanya
sebagai jembatan dari rakyat ke pemerintahannya, namun disinilah fungsi partai
politik dibangun.
Negara
yang demokratis dikenal dengan istilah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Namun dari sini muncul pertanyaan, siapa itu rakyat? Apakah seluruh
orang yang ada dan di Negara tersebut adalah rakyat? Lalu bagaimana dengan para
bayi yang baru dilahirkan? Lalu bagaimana dengan orang yang bekerja
berbulan-bulan di negri sebrang? Lalu bagaimana dengan para penjahat yang
berada dipenjara mendekam selama bertahun-bertahun? Dan ini tentu perlu
difikirkan oleh pemerintah yang ada, maka dari itu partai politik berperan
penting disini, meluruskan setiap pemerintahan yang mulai sedikit melenceng,
mengingatkan kebijakan-kebijakan yang menyalahi aturan. Namun seperti itukah
partai politik sekarang? Tidak sepenuhnya seluruh partai politik menjalankan
fungsinya, pasti ada saja kejanggalan-kejanggalan yang terjadi, namun partai
politik dibentuk pasti punya visi dan misi yang baik yang ingin membangun
negaranya dan lebih mensejahterakan rakyatnya, karena sisi positif dan
negatifnya, pasti ada.
Ketika suharto ditumbangkan dari
Kekuasaannya pada tahun 1998, banyak orang beranggapan bahwa demokrasi dapat
mudah ditegakkan, dan program-program reformasi akan dicapai dengan mulus. Namun apa yang terjadi? Orde baru boleh jadi tumbang, tapi orde baru ”isme” masih terus hadir dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita. Rupanya kekuasaan soeharto dan system orde barunya selama
32
tahun bukan saja telah mengakar, tapi juga terlanjur menjadi bagian yang tak terpisahkan dari system politik, ekonomi,
sosial dan kemasyarakatan di
indonesia hingga sekarang.
1.2 Tujuan
Penyusunan Makalah
Tujuan
penyusunan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1) untuk
memenuhi salah satu tugas
dalam mengikuti mata kuliah Sistem
Politik Indonesia ;
2) untuk
menambah wawasan mengenai partai politik dan
birokrasi era dan pasca Orde Baru;
3) melatih membuat laporan dalam bentuk makalah ; dan
4) untuk
mengembangkan studi kepustakaan.
1.3 Teknik
Pengumpulan Data
Adapun metode yang kami
gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara Studi
Litelatur yaitu mencari informasi dari web (Internet)
dan melalui sumber – sumber
yang lain seperti buku – buku Politik
Indonesia dan pengetahuan
tentang objek yang ditulis.
1.4 Sistematika
Penulisan
Ø
BAB I
membahas pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan Penelitian, teknik pengumpulan data, dan sistematika
penulisan.
Ø
BAB II Berisi hasil kerja kelompok yang membahas tentang partai politik era Orde Baru, Partai Politik Pasca Orde Baru, Birokrasi
pemerintah era Orde Baru, Birokrasi Pemerintah Pasca Orde Baru, dan Pengaruh
partai politik terhadap birokrasi
Ø
BAB III
penutup yang berupa kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Partai Politik Orde Baru
Sebuah parpol mempunyai peranan
sebagai pendengar atau penyampai aspirasi rakyat, dan birokrasi mempunyai
peranan menjalankan suatu kebijakan kepada rakyatnya yang semestinya dapat
mensejahterakan rakyatnya. Birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam
menyelenggarakan pemerintahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang
berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat yang tentu saja amat
berbeda-beda kepentingannya.
Pada 27 Maret 1968, MPRS secara resmi melantik
Soeharto untuk menjabat 5 tahun sebagai presiden RI yang kedua. Soeharto
Kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada 1973, 1978, 1983, 1988,
1993 dan 1998. Dilantiknya presiden Soeharto secara berturut-turut ini tidak
terlepas dari kebijakan-kebijakannya yang menggunakan Golongan Karya (Golkar)
sebagai kendaraan berpolitiknya. Masyarakat Indonesia banyak memilih partai
Golkar yang lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan
Pembangunan.
Pilar utama Orde Baru adalah Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Pada saat menjabat sebagai presiden, Soeharto memperlakukan ABRI memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan
hankam (pertahanan dan keamanan) dan kekuatan sospol (sosial dan politik). Pada
saat itu, anggota ABRI ikut menentukan kebijakan politik dengan adanya fraksi
ABRI dikursi DPR/MPR.
Pada masa ini peran pemerintah pada masyarakat
sangat kuat. Menguatnya peran pemerintah tampak jelas dari kegiatan-kegiatan
kenegaraan. Tentunya politik dan ekonomi
tidak bisa dipisahkan. Karena biasanya ada pengaruh antara politik dan ekonomi. Ketika stabilitas
politik diperbaiki seperti memperkecil jumlah partai menjadi 3. Yakni, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya
(GolKar). Penyederhanaan ini dilakukan agar kondisi politik menjadi stabil.
Tentunya hal ini pada awalnya sangat berhasil. Kemudian mulailah perbaikan
sedikit demi sedikit ekonomipun mulai membaik dengan pembangunan jangka pendek
dan pembangunan jangka panjang, kemudian membaiknya pada keamanan negara dan
hukum yang diterima oleh masyarakat dengan harapan keadilan. Pada saat ini,
kondisi seperti ini menjadikan indonesia semakin unjuk gigi untuk terus
memajukan bangsa dan negara. Tentunya suasana yang kondusif seperti itu tidak
lepas dari sebuah kesalahan.
Partai politik era ini bisa dibilang cacat dalam
melakukan fungsinya, betapa tidak langkah-langkah mereka sebagai perahu
masyarakat sangat dibatasi. Mereka tidak begitu leluasa untuk melakukan hal-hal
yang baru. Sehingga partai politik pada era ini tidak begitu berkembang.
Namun pada era ini Golkar menjadi pelopor dari semua
partai, seolah-olah golkar mempunyai kekuasaan lebih dalam menata ruang
pemerintahan Indonesia. Sehingga ada hegemoni partai pada era ini. Adanya
system partai yang hegemoni ini membuat partai yang lainnya lumpuh. Namun Golkar
yang pernah menjadi partai hegemoni pada era Orde Baru dan menjadi kepanjangan
tangan pemerintahan Pasca Orde Baru harus berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah dengan yang lain.
2.2 Partai
Politik Pasca Orde Baru
Semenjak runtuhnya Orde Baru, Indonesia
memiliki partai-partai politik yang otonom, yang bisa mempengaruhi pembuatan
keputusan dan partai politik dengan kapasitas organisasi yang mampu
memobilisasikan warga negara secara konsisten. Arena utama untuk persaingan
politik sebagian besar bukan hanya didalam negara, dan didalam sistem
kekuasaan, tetapi juga mencari dukungan yang lebih luas, ditengah-tengah
masyarakat. Partisipasi yang ditujukan untuk mendisiplinkan pemerintahan pusat,
mejauhkan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme akan lebih berhasil jika
segmen-segmen penting dari jajaran korp pegawai negeri, masyarakat, aparat
penegak hukum, dan birokrasi mendukungnya. Banyaknya kasus-kasus penyelewengan
kekuasaan, yang dijumpai di negara-negara dunia yang otoriter, menggunakan
mesin birokrasi sebagai dukungan kekuasaan yang potensial, meskipun terjadi
gejolak pada rakyat, dan ketidak puasan terjadi dimana-mana yang akhirnya
berhasil diredam. Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur
yang sangat diktaktor, runtuhnya pemerintahan Marcos di Filipina yang juga
diktaktor oleh yang disebut sebagai People Power, pergolakan mahasiswa
di Republik Rakyat Cina yang sayangnya berakhir dengan tragedi di Tiananmen;
Krisis Moneter menimbulkan demonstrasi mahasiswa Indonesia meluas, dan
kritik sosial yang berkembang, yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru yang
otoriter dan buruk yang kemudian melahirkan pemerintahan Orde Reformasi yang
sekarang ini. Pengalam buruk pemerintahan otoriter Indonesia menjadikan pilihan
demokrasi sebagai anggapan paling ideal meskipun
banyak pengorbanan. Demokrasi butuh biaya tinggi, disintegrasi social menjauh
dari efektif, efisien, profesionalisme pemimpin birokrasi dan lain-lain.
Pada
masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang
damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48
partai politik. Perubahan memang telah terjadi dan
merupakan kenyataan bahwa dalam era reformasi peran partai-partai politik semakin
menonjol.
Partai-partai
politik bermunculan seperti cendawan setelah hujan. Pada pemilu tahun 1999 partai-partai bertarung lagi
tanpa ada intimidasi dari penguasa. Dalam
pemilu ini jumlah partai peserta pemilu sangat besar, tercatat ada 48 partai yag ikut pemilu tahun 1999.
Euphoria pemilu ini mengingatkan kita kepada
era Demokrasi Parlementer dimana pada saat itu tumbuh partai-partai politik
yang menampakkan atau membawa ideologimasing-masing.Puncaknya pada pemilu tahun 1955, dimana pada
saat itu ada empat partai besar yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu
tersebut, yakni; PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Setelah Soeharto jatuh,euphoria ini
terjadi lagi tetapi ada pergeseran-pergesaran, studi yang jelas menganai ini adalah Marcus
Mietzner dalam Comparing Indonesi’s Party System Of The 1950 and The
Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal Inter Party Competition
(2008). Ada pergeseran-pergesaran
idiologi partai, mietzner
membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism, populism/authoritarianism,
the centre : existing democratic party, Islamic society, dan Islamic
state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi communism/socialism
diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai Murba < 1 %.
Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI
(relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the centre :
existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic policy)
sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society diwakili oleh
NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan
Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu
pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti pada
tahun 1955 tapi membawa
corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara
di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni
bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah
ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal
kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar,
PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI,
sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil
daripada tahun 1950 yang sentrifugal.
2.3
Birokrasi Pemerintahan era Orde Baru
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau
+ cracy), diartikan sebagai suatu
organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak
orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada
instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia arti dari Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat dan cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.(
id.wikipedia.org)
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun
di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang
tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai
pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu
berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi
kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak
efisien.
Di Masa
Soeharto ini, sistem politik tercipta dengan kestabilan yang tinggi, dengan
bantuan dari kekuatan Golkar, TNI, lembaga pemikir, dan dukungan capital
international. Kemudian dalam masa ini juga warga keturunan khususnya Tionghoa
dilarang berekspresi, Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung menghapus hak – hak asasi mereka. Kemudian pengekangan
pers pada masa ini juga membuktikan bahwa sistem politik yang dijalankan oleh
Soeharto bersifat otoriter. Tujuan sistem politik pada masa orde baru adalah
Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas
ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. (Ricklefs,
2008)
Program
Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni
Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, Melaksanakan
pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968,
Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional,
Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Pada masa
Orde Baru, Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu dengan
menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran
dwifungsi ABRI sehingga DPR yang sebagian besar dari fraksi Golongan Karya
selalu mematuhi dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hak interpelasi
(yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di
sesuatu bidang) tidak pernah digunakan, karena sistem pemerintahan yang
otoriter dan tertutup sehingga tidak mungkin hak ini digunakan dalam sistem
politik pada masa Orde Baru.
Birokrasi
pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang
bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam
rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya.
Pemerintahan
Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi
program pembangunan nasional. Birokrasi lebih berperan untuk mengurus kehidupan
publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya.
Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah.
Menjadikan birokrasi sangat tidak terbatas kuasanya dan sulit dikontrol
masyarakat dan menyebabkan timbulnya Patologi Birokrasi. Seperti Korupsi Kolusi
dan Nepotisme. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi
kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku
aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan
pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai
pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani
dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh
dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam
kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi
pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan
membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai
abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik
penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara
efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna
jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi
untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Kultur kekuasaan
yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata
masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
Begitu
banyak perubahan dalam politik Indonesia dan salah satu perubahan penting dalam politik
Indonesia pasca Orde Baru adalah reformasi birokrasi. Pada jaman Orde Baru,
birokrasi ditandai oleh dua ciri utama. Pertama, birokrasi patrimonial,
yaitu birokrasi yang didasarkan pada kedekatan hubungan personal antara atasan
dan bawahan. Kedua, birokrasi yang menjadi pelaku aktif dari aktivitas
bisnis, dan biasa disebut sebagai birokrasi kapitalisme.
Pada birokrasi patrimonial, pemilihan atau perekrutan
orang ke dalam birokrasi didasarkan pada kedekatan hubungan personal. Kedekatan
personal ini mengabaikan kualitas individu, namun lebih mengutamakan loyalitas
kepada atasan.
Pada birokrasi kapitalisme, sejumlah birokrat secara
aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Berbagai proyek pembangunan jatuh kepada sejumlah perusahaan yang punya
keterkaitan erat dengan pemangku jabatan di birokrasi pemerintahan.
Kombinasi dari ciri birokrasi patrimonial dan
kapitalistik itu membuat birokrasi di jaman Orde Baru menjadi ladang yang subur
bagi tindak pidana penyuapan dan pemerasan. Seorang birokrat menggunakan
jabatannya untuk menerima suap dari sejumlah individu maupun kelompok bisnis
tertentu, sekaligus melakukan pemerasan agar pihak lain mengikuti aturan main
yang telah diatur oleh sang birokrat yang korup. Praktik semacam ini terjadi di
hampir semua lapisan birokrasi, baik itu dari level tertinggi sampai terendah,
maupun dari pusat sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.
Kesimpulannya
birokrasi pada era Soeharto ini menggunakan arti birokrasi yang menekankan lebih
mengabdi ke atas dibanding mengabdi kebawah yang berarti tidak memberikan
pelayanan baik pada masyarakat sebagai rakyat biasa. Sehingga pada masa ini
aktifitas birokrasi hanya untuk melayani rezim untuk mempertahankan elit yang
berkuasa, akibatnya system check and balance serta prinsip pelayanan prima
diabaikan. Sehingga pemerintah tidak mampu merespon tuntutan masyarakat dengan
rasional dan bertanggungjawab.
2.4
Birokrasi Pemerintahan Pasca Orde Baru
Priyo Budi Santoso mengatakan (Gerakan Demokrasi di
Indonesia pasca-Soeharto:emos) bahwa dalam gerakan menjatuhkan soeharto, ada
beberapa tuntutan dasar antara lain perlunya perubahan UU Politik dan pengadilan
terhadap Soeharto. Dan Kelik (PRD) juga menilai bahwa proses pembangunan yang
dilakukan Soeharto adalah akar dari kebobrokan kita saat ini.
Untuk membentuk birokrasi yang baik pasca Orde Baru,
tanggal 22 mei 1998 sekitar pukul 10.30 WIB, presiden habibie mengumumkan
susunan kabbinet baru yang diberi nama cabinet reformasi pembangunan di Istana
merdeka. Presiden habibie memberhentikan dengan hormat para menteri Negara pada
cabinet pembangunan VII. Cabinet reformasi pembangunan terdiri dari 36 Menteri,
yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri
Negara yang memimpin Kepartemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani
bidang tertentu.
Tidak seperti Kabinet sebelumnya di
era Soeharto, cabinet ini mencerminkan berbagai unsur kekuatan social politik
dalam masyarakat, sehingga merupakan
sinergi dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa.
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat
dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang
lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan
atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU
No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR
No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lembaga
MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan
menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di
amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden
dalam sidang istimewanya.
Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden
paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000
dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung
rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga
tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan
presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan
menurut UUD.
Era Pasca Orde Baru dilanda krisis ekonomi yang semakin dahsyat, maka
perhatiannya tidak lagi pada reformasi birokrasi. Pemerintah lebih
memperhatikan bagaimana nilai rupiah tidak terpuruk, pengangguran tidak semakin
menjadi-jadi, dan investasi asing berduyun-duyun datang ke Indonesia.
Pemerintah juga sibuk mengatasi pengangguran. Upaya perbaikan ekonomi tidak
juga berangsur baik. Reformasi birokrasi tidak pernah lagi tersentuh, maka
jadilah pemerintahan seperti sekarang ini.
Sekarang
muncul pendapat dari Prof Juwono yang dianggap aneh oleh anggota DPR dan pendapat
Prof Muladi yang barangkali di kalangan Departmen Hukum dan HAM dinilai
mencampuri pekerjaan orang lain. Menurut saya, usul kedua profesor itu perlu
dipikirkan oleh tim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden sendiri.
Reformasi birokrasi pemerintah yang komprehensif seperti yang pernah digagas
oleh Presiden Habibie (Menko Hartarto) perlu ditindak lanjuti.
Grand design
Jika kita
hanya memperbaiki satu atau dua departemen pemerintah itu namanya tidak
mempunyai rancang bangun reformasi yang menyeluruh terhadap lembaga birokrasi
pemerintah. Jadi kalau Ditjen Imigrasi dipisahkan dari Departemen Hukum dan HAM
dan Jabatan Panglima TNI tidak dimintakan persetujuan DPR, usul semacam ini
tidak akan memecahkan masalah lembaga birokrasi pemerintah yang menyeluruh.
Pemisahan
ditjen dari departemen menjadi LPND tidak hanya di Departemen Hukum dan HAM.
Banyak kasus yang sama dengan usul Prof Muladi. Jabatan panglima yang tidak
dimintakan persetujuan DPR, tidak hanya menyangkut jabatan Panglima TNI,
sebagaimana diusulkan Prof Juwono. Banyak jabatan politik yang perlu dijernikan
pemakaian dan prosedur pengangkatannya.
Klarifikasi
jabatan birokrasi dan jabatan karier birokrasi pemerintah belum ada kejelasan
arti pemahamannya dan prosedur pengangkatannya. Adalah aneh dalam pemahaman
ilmu (ilmiah) seorang panglima TNI, yang merupakan karier profesional, diuji
(fit dan proper test) oleh anggota DPR (lembaga politik). Sementara seorang
menteri yang jelas-jelas jabatan politik tidak dimintakan persetujuan DPR.
Aneh pula
seorang direktur jenderal yang merupakan karier birokrat diangkat melalui
persetjuan Tim Penilai Akhir (TPA). Di zaman orde baru, TPA ini disebut Badan
Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas) yang anggotanya adalah pejabat
politik semuanya (mulai dari presiden, wakil presiden, para menteri terkait).
Dalam lembaga tersebut, pertimbangan politik lebih kental ketimbang
pertimbangan keahlian calon.
Bagaimana
netralitas birokrasi bisa dijamin dan dilaksanakan dengan jujur dan baik kalau
pengangkatan calon pejabat karier birokrat berbau politik. Coba kita teliti
sekarang berapa persen pengangkatan eselon I oleh menteri dari parpol yang
bebas parpolnya?
Sekarang
ini di bidang kelembagaan birokrasi pemerintah ada menteri (kementerian) negara
yang sama tugas dan kewajibannya dengan LPND. Misalnya, menteri negara
perencanaan pembangunan nasional dengan Bappenas; menteri negara riset dan
teknologi dengan BPPT, LIPI, dll; ada menteri negara pendayagunaan aparatur
negara (PAN) dengan LAN, BKN. Belum lagi ada kasus suatu departemen dipimpin
oleh menteri baru yang tidak memahami otonomi daerah (seperti diatur UU
32/2004). Kemudian menteri yang bersangkutan mengusulkan perluasan
depertemennya dengan menambah, mengubah, menggabung direktorat jenderalnya
dengan meminta persetujuan menteri PAN dan disetujui tanpa analisis mendalam.
Hal
semacam ini belum pernah dikaji dan diteliti secara mendalam oleh pemerintah.
Dengan demikian usul Prof Juwono dan Prof Muladi itu merupakan triger point
bagi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintah secara mendalam
dan menyeluruh. Mestinya menteri negara yang bertanggung jawab ke arah
reformasi birokrasi pemerintah segera menanggapai usul kedua profesor tersebut.
Dia perlu mengajukan program yang komplit dan komprehensif mengenai reformasi
birokrasi pemerintah sehingga grand design-nya bisa dijadikan pedoman.
Gerakan reformasi, dengan pemberantasan KKN sebagai salah
satu tuntutan pokoknya, berusaha untuk memutus warisan birokrasi Orde Baru.
Berdasarkan TAP MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan
Negara dan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, reformasi birokrasi perlahan-lahan
mulai dilakukan.
Reformasi birokrasi juga tidak hanya dilakukan secara internal akan tetapi secara eksternal juga. Reformasi
internal meliputi pembenahan dan penguatan kelembagaan, serta meningkatkan
kualitas aparat birokrasi. Reformasi eksternal meliputi penegakan hukum (produk
hukum dan aparat penegak hukum), struktur politik, pembongkaran mitos budaya
korupsi, dan adanya gerakan kewarganegaraan yang kuat.
2.5
Pengaruh Partai Politik terhadap Birokrasi era Orde Baru dan Pasca Orde Baru
Kedudukan birokrasi dalam kepentingan partai politik
dimulai dari hasil pemilu 1955 dimana terdapat empat partai besar
yang muncul sebagai pemenang pemilu kemudian setelah
peristiwa prri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun
1960 partai Masyumi dibubarkan dan menyisakan tiga partai besar
lainnya sebagai partai politik yang besar yang merupakan elemen dari
politik nasakom pada waktu itu, masing-masing berusaha mengusai
sumber daya bagi partainya masing-masing, dari semangat dan keinginan seperti
ini membuat birokrasi dan netralitas birokrasi terhadap kekuatan partai politik
mulai menjadi sulit bisa terhindarkan berlanjut dengan pemerintahan selanjutnya
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tanggal 29
Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia
(KORPRI) sebagai organisasi merupakan wadah tunggal bagi seluruh pegawai
pemerintahan Indonesia yang selanjutkan dalam pemilu
tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 terlibat
langsung dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar (karena
waktu itu Golkar menyatakan dirinya bukan sebagai partai
politik melainkan sebagai perwakilan dari golongan fungsional)
sebagai jalur B berarti dari lingkungan birokrasi, dalam hasil
sistem pemilu multi partai tahun 1999 terdapat pengangkatan seorang
sekretaris jenderal yang berasal dari satu partai dengan menteri
kehutanan dan di beberapa kantor kementerian antara
lain Diknas, BUMN dan lain sebagainya diangkat beberapa eselon
satu yang juga berasal dari satu partai politik dengan menterinya selanjutnya
pada pemerintahan lanjutan hasil pemilu selanjutnya para ketua partai melalui
jabatan menteri mulai berusaha untuk mengikuti cara-cara sebelum
tahun 1998 dijalankan kembali dengan mengaburkan antara jabatan
karier dan non karier dengan mengeser jabatan-jabatan karier birokrasi
berpindah ke tangan orang-orang partai politik non karier dan birokrasi.
Denny JA dalam tulisan kelima pada bagian I
mengingatkan bahwa tidak ada Negara modern tanpa keberadaan partai politik.
Setelah terbelenggu oleh rezim otoriter Soeharto pada era orde baru, pada era
reformasi para partai politik mampu bernafas dengan leluasa.
Meskipun telah terjadi perubahan yang cukup mendasar
dalam kehidupan kepartaian setelah gerakan reformasi 1998, tulis Denny JA,
garis primordial dan pembelahan horizontal-kultural masih amat mendominasi tipe
partai-partai dengan berbagai variasi bentuknya. Tipologi partai di Indonesia
-sejak dulu sampai sekarang- pada umumnya tidak mengikuti “hokum Duverger” yang
mengelompokkan tipe partai dalam partai kader dan partai massa; juga tidak
terbagi kedalam ideology konservatisme, liberalism dan sosialisme sebagaimana
berlangsung di Dunia Barat.
Pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi saat ini,
orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai dan simbol-simbol menunjukkan bagaimana
para pejabat mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai
abdi atau pelayan masyarakat. Pendekatan politik yang terlalu kuat telah
mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal. Selama ini pegawai
negeri identik sebagai pegawai pemerintah yang harus tunduk patuh pada
pemerintah.Padahal antara pemerintah dan negara itu berbeda.Negara relatif
tetap, sedang pemerintah bersifat periodik.Pegawai negeri adalah instrumen
pemerintah dan juga instrumen negara.Tapi mental yang mestinya abdi negara
masih terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, birokrasi penuh dengan
pendekatan kekuasaan , padahal mestinya birokrat yang bagus itu penuh dengan
profesionalisme.
Birokrasi yang berorientasi pada profesionalisme dan
lepas dari kepentingan politik memang merupakan suatu keniscayaan
mengingat bahwa pucuk pimpinan birokrasi adalah para politisi yang mempunyai
kedudukan sebagai ketua atau paling tidak duduk dalam jajaran kepengurusan
partai politik yang tentunya mempunyai dasar pemikiran membela
kepentingan ideologi ataupun konstituen partainya.
Setidaknya ada dua penyebab yang membuat birokrasi
yang tidak tergantung pada rezim politik sangat sulit berkembang di Indonesia,
yakni (1) secara tradisional birokrasi dibentuk untuk mengabdi kepada pemegang
kekuasaan sebagai produk dari bekerjanya pemahaman ide kekuasaan yang memusat
ke tangan Raja;dan (2) pola fikir dan tindakan kita selama 32 tahun terakhir
terkooptasi oleh pemahaman bahwa jabatan politis di birokrasi hanya dipegang
oleh satu kekuatan politik, sehingga melahirkan pola hubungan yang dominatif,
subordinatif dan marginalisasi aktor politik. Akibat kedua faktor ini, maka
Pemilu lebih berfungsi sebagai arena ‘penajaman’ perbedaan kepentingan daripada
upaya mencari ‘pemehaman yang sama’ mengenai masalah kenegaraan. Kemenangan
dalam pemilu dipahami sebagai kemenangan dalam satu peperangan.Struktur
birokrasi pun dipandang sebagai ‘pampasan perang’ yang harus dikuasai.
Orde Reformasi yang memunculkan sistem
multipartai dalam pemilu belum mampu membentuk birokrasi yang netral.
Politisasi birokrasi tetap berlangsung dalam bentuk ‘parpolisasi birokrasi’
yang rentan terhadap konflik internal dalam tubuh birokrasi. Masuknya
tokoh-tokoh partai politik kedalam birokrasi menyebabkan birokrasi diwarnai
kepentingan partai sehingga tidak lagi sebagai agen pelayanan publik yang
netral.
Kalau ‘parpolisasi birokrasi’ seperti tersebut
diatas adalah benar , maka birokrasi akan terseret dalam konflik internal yang
berpusar sekitar masalah distribusi dan alokasi nilai (sumber daya)
birokrasi diantara kekuatan politik yang menguasai birokrasi. Fokus
perhatian puncak pimpinan birokrasi (pejabat politik) akan lebih banyak
terserap pada bagaimana memperjuangkan kepentingan partai dan konstituennya .
Akibatnya jelas, impian masyarakat akan penyelenggaraan administrasi publik
yang berkualitas, akuntabel dan responsif akan semakin menjauh.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Partai
Politik yang menjadi jembatan antara masyarakat biasa dan para petinggi Negara
di era Orde baru tidak begitu berfungsi dengan baik, pemerintahan diatur
sedemikian rupa dibawah pimpinan seorang kepala Negara yang otoriter. Negara
dibentuk dengan tangannya sendiri, tanpa kritik dan komentar dari siapapun.
Sedangkan partai politik pasca orde baru begitu bebas bermunculan. Banyak
partai-partai baru lahir di Indonesia walaupun fungsinya belum begitu baik
dijalankan.
Partai
politik era orde baru tidak begitu besar mempengaruhi birokrasi, kecuali partai
GolKar dimana disetiap sudut pemerintahan diletakkan andil-andil dari partai
tersebut. Hampir seluruh pemerintahan dikuasai oleh partai ini dibawah
kekuasaan Soeharto. Namun partai politik pasca orde baru sangat berpengaruh
terhadap tatanan Negara. Karena aspirasi, usulan dan pendapatnya diterima
dengan baik pada era ini.
3.2 Saran
Untuk membentuk suatu birokrasi yang
baik tentu saja tidak mudah, butuh proses atau langkah-langkah yang harus
ditempuh. Langkah-langkah tersebut antara lain: adanya kemauan
politik pemerintah yang didukung oleh modal politik yang kuat, gerakan rakyat
anti korupsi dan prinsip patriotik dalam melawan korupsi. Selama ini ada
terobosan untuk menempatkan sejumlah orang yang dipandang reformis ke dalam
tubuh birokrasi. Tetapi yang sering terjadi adalah ketidakmampuan orang
tersebut untuk mengubah watak birokrasi yang korup karena tidak mempunyai modal
politik yang cukup kuat.
Langkah kedua
adalah membangun gerakan anti korupsi yang berwatak kerakyatan. Selama ini ada
anggapan bahwa masalah korupsi hanya bisa diselesaikan di tingkat politik elit.
Pengalaman masyarakat Seruyan Tengah, Kalimantan Tengah yang bahu-membahu
menggalang kekuatan melawan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh bekas kepala
adat dan anggota DPRD di daerahnya (Matt Stephens, dkk, 2006), adalah suatu
bentuk kepedulian rakyat akan adanya pemberantasan korupsi secara menyeluruh.
Langkah yang
ketiga adalah membangun sikap patriotik untuk melawan korupsi. Grup musik Slank
dalam konser musiknya di gedung KPK (24 Maret 2008) menyatakan bahwa para koruptor
adalah pengkhianat negara. Pernyataan ini tepat karena korupsi telah mengancam
sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi, yang hanya mengutamakan kepentingan
pribadi atau suatu kelompok tertentu, berbanding terbalik dengan patriotisme.
DAFTAR PUSTAKA
Marijan kacung,
Prof.Dr, 2010. Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi demokrasi pasca orde baru, Jakarta: Kencana
Priyono AE, Agung Widjaja, Coen Husain, Donni E, M. Qodari, Otto AY, Sofian
MA. 2005. Warisan Orde Baru, Jakarta: Institud Studi Arus Informasi
Haris Syamsudin dkk.
2002. Reformasi politik dan kekuatan
masyarakat, Jakarta: LP3S
A.
Prasetyantoko. 1999. Kaum Profesional menentang rezim otoriter.
Jakarta: Grasindo
Gauzali Saydam. 1999. Dari Balik Suara Ke Masa Depan Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers
Winters, Jeffrey A.
1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru.
Jakarta: Djambatan
Sulastomo. 2003. Reformasi Antara Harapan dan Realita.
Jakarta: Buku Kompas
Simanjuntak, P.N.H.
2003. Kabinet-kabinet Republik Indonesia
dari awal kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi diakses Minggu, 27 Mei 2012
12:50:23
http://www.scribd.com/wanthodarknet/d/39179446-Definisi-Birokrasi
diakses
diakses Minggu, 27 Mei 2012 13:31:43
http://isnuansa.blogspot.com/2009/06/birokrasi-dan-politik-di-indonesia.html
diakses Jum’at, 1 April 2012 19:12:14
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik_blok_birokrasi#section_2
diakses Jum’at, 1 April 2013 19:20:25
http://masroed.wordpress.com/tag/politik-birokrasi/
diakses Rabu, 10 April 2013 14:08:45
http://saifullahibnu.blogspot.com/2012/02/hubungan-birokrasi-dan-politik-di.html
diakses Rabu, 10 April 2013 14:25:02
mantap artikelnya gan.
BalasHapuswww.kiostiket.com
Casinos Near Me - Casinos Near Me - MapYRO
BalasHapusFind Casinos Near Me 경상북도 출장마사지 Near Me in 2021 - Use this simple form to 논산 출장마사지 find the 광명 출장마사지 best casinos and other 광명 출장안마 gaming 과천 출장샵 facilities near you.