Selasa, 28 Mei 2013

makalah pengaruh parpol terhadap birokrasi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Parpol mulai dikenal dalam bentuk yang modern di Eropa dan Amerika Serikat sekitar abad ke 19, bersamaan diperkenalkannya sistem pemilihan dan parlementer. Sepanjang perkembangan dan kemajuan sistem pemilihan dan parlemen ini maka berkembang pula sistem kepartaian politik. Istilah parpol yang melekat dipergunakan untuk setiap bentuk kelompok organisasi yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik baik melalui pemilu yang demokratis atau melalui revolusi.
Sebagai Negara yang demokrasi, bagi Indonesia partai politik tidaklah asing. Banyak partai politi yang tumbuh dan berkembang di Negara demokrasi. Meskipun partai politik bukanlah salah satu petinggi Negara yang menjalankan pemerintahannya, namun posisi partai politik di Negara demokrasi amatlah penting, meski hanya sebagai jembatan dari rakyat ke pemerintahannya, namun disinilah fungsi partai politik dibangun.
Negara yang demokratis dikenal dengan istilah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun dari sini muncul pertanyaan, siapa itu rakyat? Apakah seluruh orang yang ada dan di Negara tersebut adalah rakyat? Lalu bagaimana dengan para bayi yang baru dilahirkan? Lalu bagaimana dengan orang yang bekerja berbulan-bulan di negri sebrang? Lalu bagaimana dengan para penjahat yang berada dipenjara mendekam selama bertahun-bertahun? Dan ini tentu perlu difikirkan oleh pemerintah yang ada, maka dari itu partai politik berperan penting disini, meluruskan setiap pemerintahan yang mulai sedikit melenceng, mengingatkan kebijakan-kebijakan yang menyalahi aturan. Namun seperti itukah partai politik sekarang? Tidak sepenuhnya seluruh partai politik menjalankan fungsinya, pasti ada saja kejanggalan-kejanggalan yang terjadi, namun partai politik dibentuk pasti punya visi dan misi yang baik yang ingin membangun negaranya dan lebih mensejahterakan rakyatnya, karena sisi positif dan negatifnya, pasti ada.
Ketika suharto ditumbangkan dari Kekuasaannya pada tahun 1998, banyak orang beranggapan bahwa demokrasi dapat mudah ditegakkan, dan program-program reformasi akan dicapai dengan mulus. Namun apa yang terjadi? Orde baru boleh jadi tumbang, tapi orde baru ”isme” masih terus hadir dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita. Rupanya kekuasaan soeharto dan system orde barunya selama 32 tahun bukan saja telah mengakar, tapi juga terlanjur menjadi bagian yang tak terpisahkan dari system politik, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan di indonesia hingga sekarang.

1.2  Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1)      untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti mata kuliah Sistem Politik Indonesia ;
2)      untuk menambah wawasan mengenai partai politik dan birokrasi era dan pasca Orde Baru;
3)      melatih membuat laporan dalam bentuk makalah ; dan
4)      untuk mengembangkan studi kepustakaan.


1.3  Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara Studi Litelatur yaitu mencari informasi dari web (Internet) dan  melalui sumber – sumber yang lain seperti buku – buku Politik Indonesia dan pengetahuan tentang objek yang ditulis.

1.4  Sistematika Penulisan

Ø    BAB I  membahas pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan Penelitian, teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Ø    BAB II Berisi hasil kerja kelompok yang membahas tentang partai politik era Orde Baru, Partai Politik Pasca Orde Baru, Birokrasi pemerintah era Orde Baru, Birokrasi Pemerintah Pasca Orde Baru, dan Pengaruh partai politik terhadap birokrasi
Ø    BAB III  penutup yang berupa kesimpulan dan saran.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Partai Politik Orde Baru
            Sebuah parpol mempunyai peranan sebagai pendengar atau penyampai aspirasi rakyat, dan birokrasi mempunyai peranan menjalankan suatu kebijakan kepada rakyatnya yang semestinya dapat mensejahterakan rakyatnya. Birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat yang tentu saja amat berbeda-beda kepentingannya.
Pada 27 Maret 1968, MPRS secara resmi melantik Soeharto untuk menjabat 5 tahun sebagai presiden RI yang kedua. Soeharto Kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada 1973, 1978, 1983, 1988, 1993 dan 1998. Dilantiknya presiden Soeharto secara berturut-turut ini tidak terlepas dari kebijakan-kebijakannya yang menggunakan Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan berpolitiknya. Masyarakat Indonesia banyak memilih partai Golkar yang lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan Pembangunan.
Pilar utama Orde Baru adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada saat menjabat sebagai presiden, Soeharto  memperlakukan ABRI  memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan hankam (pertahanan dan keamanan) dan kekuatan sospol (sosial dan politik). Pada saat itu, anggota ABRI ikut menentukan kebijakan politik dengan adanya fraksi ABRI dikursi DPR/MPR.
Pada masa ini peran pemerintah pada masyarakat sangat kuat. Menguatnya peran pemerintah tampak jelas dari kegiatan-kegiatan kenegaraan.  Tentunya politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Karena biasanya ada pengaruh antara  politik dan ekonomi. Ketika stabilitas politik diperbaiki seperti memperkecil jumlah partai menjadi 3. Yakni, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (GolKar). Penyederhanaan ini dilakukan agar kondisi politik menjadi stabil. Tentunya hal ini pada awalnya sangat berhasil. Kemudian mulailah perbaikan sedikit demi sedikit ekonomipun mulai membaik dengan pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang, kemudian membaiknya pada keamanan negara dan hukum yang diterima oleh masyarakat dengan harapan keadilan. Pada saat ini, kondisi seperti ini menjadikan indonesia semakin unjuk gigi untuk terus memajukan bangsa dan negara. Tentunya suasana yang kondusif seperti itu tidak lepas dari sebuah kesalahan.
Partai politik era ini bisa dibilang cacat dalam melakukan fungsinya, betapa tidak langkah-langkah mereka sebagai perahu masyarakat sangat dibatasi. Mereka tidak begitu leluasa untuk melakukan hal-hal yang baru. Sehingga partai politik pada era ini tidak begitu berkembang.
Namun pada era ini Golkar menjadi pelopor dari semua partai, seolah-olah golkar mempunyai kekuasaan lebih dalam menata ruang pemerintahan Indonesia. Sehingga ada hegemoni partai pada era ini. Adanya system partai yang hegemoni ini membuat partai yang lainnya lumpuh. Namun Golkar yang pernah menjadi partai hegemoni pada era Orde Baru dan menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Pasca Orde Baru harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan yang lain.


2.2  Partai Politik Pasca Orde Baru
            Semenjak runtuhnya Orde Baru, Indonesia memiliki partai-partai politik yang otonom, yang bisa mempengaruhi pembuatan keputusan dan partai politik dengan kapasitas organisasi yang mampu memobilisasikan warga negara secara konsisten. Arena utama untuk persaingan politik sebagian besar bukan hanya didalam negara, dan didalam sistem kekuasaan, tetapi juga mencari dukungan yang lebih luas, ditengah-tengah masyarakat. Partisipasi yang ditujukan untuk mendisiplinkan pemerintahan pusat, mejauhkan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme akan lebih berhasil jika segmen-segmen penting dari jajaran korp pegawai negeri, masyarakat, aparat penegak hukum, dan birokrasi mendukungnya. Banyaknya kasus-kasus penyelewengan kekuasaan, yang dijumpai di negara-negara dunia yang otoriter, menggunakan mesin birokrasi sebagai dukungan kekuasaan yang potensial, meskipun terjadi gejolak pada rakyat, dan ketidak puasan terjadi dimana-mana yang akhirnya berhasil diredam. Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur  yang sangat diktaktor, runtuhnya pemerintahan Marcos di Filipina yang juga diktaktor oleh yang disebut sebagai People Power, pergolakan mahasiswa di Republik Rakyat Cina yang sayangnya berakhir dengan tragedi di Tiananmen; Krisis Moneter menimbulkan demonstrasi mahasiswa Indonesia meluas, dan  kritik sosial yang berkembang, yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru yang otoriter dan buruk yang kemudian melahirkan pemerintahan Orde Reformasi yang sekarang ini. Pengalam buruk pemerintahan otoriter Indonesia menjadikan pilihan demokrasi sebagai anggapan paling ideal meskipun banyak pengorbanan. Demokrasi butuh biaya tinggi, disintegrasi social menjauh dari efektif, efisien, profesionalisme pemimpin birokrasi dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Perubahan memang telah terjadi dan merupakan kenyataan bahwa dalam era reformasi peran partai-partai politik semakin menonjol.  
Partai-partai politik bermunculan seperti cendawan setelah hujan. Pada pemilu tahun 1999 partai-partai bertarung lagi tanpa ada intimidasi dari penguasa. Dalam pemilu ini jumlah partai peserta pemilu sangat besar, tercatat ada 48 partai yag ikut pemilu tahun 1999. Euphoria pemilu ini mengingatkan kita kepada era Demokrasi Parlementer dimana pada saat itu tumbuh partai-partai politik yang menampakkan atau membawa ideologimasing-masing.Puncaknya pada pemilu tahun 1955, dimana pada saat itu ada empat partai besar yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu tersebut, yakni; PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Setelah Soeharto jatuh,euphoria ini terjadi lagi tetapi ada pergeseran-pergesaran, studi yang jelas menganai ini adalah Marcus Mietzner  dalam Comparing Indonesi’s Party System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal Inter Party Competition (2008). Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism, populism/authoritarianism, the centre : existing democratic party, Islamic society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the centre : existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar, PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI, sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950 yang sentrifugal.

2.3  Birokrasi Pemerintahan era Orde Baru
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat dan cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.( id.wikipedia.org)
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.

Di Masa Soeharto ini, sistem politik tercipta dengan kestabilan yang tinggi, dengan bantuan dari kekuatan Golkar, TNI, lembaga pemikir, dan dukungan capital international. Kemudian dalam masa ini juga warga keturunan khususnya Tionghoa dilarang berekspresi, Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung menghapus hak – hak asasi mereka. Kemudian pengekangan pers pada masa ini juga membuktikan bahwa sistem politik yang dijalankan oleh Soeharto bersifat otoriter. Tujuan sistem politik pada masa orde baru adalah Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. (Ricklefs, 2008)
Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968, Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada masa Orde Baru, Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu dengan menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI sehingga DPR yang sebagian besar dari fraksi Golongan Karya selalu mematuhi dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto.  Hak interpelasi (yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di sesuatu bidang) tidak pernah digunakan, karena sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup sehingga tidak mungkin hak ini digunakan dalam sistem politik pada masa Orde Baru.
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya.
Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Birokrasi lebih berperan untuk mengurus kehidupan publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya. Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah. Menjadikan birokrasi sangat tidak terbatas kuasanya dan sulit dikontrol masyarakat dan menyebabkan timbulnya Patologi Birokrasi. Seperti Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
Begitu banyak perubahan dalam politik Indonesia dan salah satu perubahan penting dalam politik Indonesia pasca Orde Baru adalah reformasi birokrasi. Pada jaman Orde Baru, birokrasi ditandai oleh dua ciri utama. Pertama, birokrasi patrimonial, yaitu birokrasi yang didasarkan pada kedekatan hubungan personal antara atasan dan bawahan. Kedua, birokrasi yang menjadi pelaku aktif dari aktivitas bisnis, dan biasa disebut sebagai birokrasi kapitalisme.
Pada birokrasi patrimonial, pemilihan atau perekrutan orang ke dalam birokrasi didasarkan pada kedekatan hubungan personal. Kedekatan personal ini mengabaikan kualitas individu, namun lebih mengutamakan loyalitas kepada atasan.
Pada birokrasi kapitalisme, sejumlah birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang berkaitan dengan pelayanan publik. Berbagai proyek pembangunan jatuh kepada sejumlah perusahaan yang punya keterkaitan erat dengan pemangku jabatan di birokrasi pemerintahan.
Kombinasi dari ciri birokrasi patrimonial dan kapitalistik itu membuat birokrasi di jaman Orde Baru menjadi ladang yang subur bagi tindak pidana penyuapan dan pemerasan. Seorang birokrat menggunakan jabatannya untuk menerima suap dari sejumlah individu maupun kelompok bisnis tertentu, sekaligus melakukan pemerasan agar pihak lain mengikuti aturan main yang telah diatur oleh sang birokrat yang korup. Praktik semacam ini terjadi di hampir semua lapisan birokrasi, baik itu dari level tertinggi sampai terendah, maupun dari pusat sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.
Kesimpulannya birokrasi pada era Soeharto ini menggunakan arti birokrasi yang menekankan lebih mengabdi ke atas dibanding mengabdi kebawah yang berarti tidak memberikan pelayanan baik pada masyarakat sebagai rakyat biasa. Sehingga pada masa ini aktifitas birokrasi hanya untuk melayani rezim untuk mempertahankan elit yang berkuasa, akibatnya system check and balance serta prinsip pelayanan prima diabaikan. Sehingga pemerintah tidak mampu merespon tuntutan masyarakat dengan rasional dan bertanggungjawab.

2.4  Birokrasi Pemerintahan Pasca Orde Baru
Priyo Budi Santoso mengatakan (Gerakan Demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto:emos) bahwa dalam gerakan menjatuhkan soeharto, ada beberapa tuntutan dasar antara lain perlunya perubahan UU Politik dan pengadilan terhadap Soeharto. Dan Kelik (PRD) juga menilai bahwa proses pembangunan yang dilakukan Soeharto adalah akar dari kebobrokan kita saat ini.
Untuk membentuk birokrasi yang baik pasca Orde Baru, tanggal 22 mei 1998 sekitar pukul 10.30 WIB, presiden habibie mengumumkan susunan kabbinet baru yang diberi nama cabinet reformasi pembangunan di Istana merdeka. Presiden habibie memberhentikan dengan hormat para menteri Negara pada cabinet pembangunan VII. Cabinet reformasi pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Kepartemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu.
            Tidak seperti Kabinet sebelumnya di era Soeharto, cabinet ini mencerminkan berbagai unsur kekuatan social politik dalam masyarakat,  sehingga merupakan sinergi dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa.
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih  langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Era Pasca Orde Baru dilanda krisis ekonomi yang semakin dahsyat, maka perhatiannya tidak lagi pada reformasi birokrasi. Pemerintah lebih memperhatikan bagaimana nilai rupiah tidak terpuruk, pengangguran tidak semakin menjadi-jadi, dan investasi asing berduyun-duyun datang ke Indonesia. Pemerintah juga sibuk mengatasi pengangguran. Upaya perbaikan ekonomi tidak juga berangsur baik. Reformasi birokrasi tidak pernah lagi tersentuh, maka jadilah pemerintahan seperti sekarang ini.
Sekarang muncul pendapat dari Prof Juwono yang dianggap aneh oleh anggota DPR dan pendapat Prof Muladi yang barangkali di kalangan Departmen Hukum dan HAM dinilai mencampuri pekerjaan orang lain. Menurut saya, usul kedua profesor itu perlu dipikirkan oleh tim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden sendiri. Reformasi birokrasi pemerintah yang komprehensif seperti yang pernah digagas oleh Presiden Habibie (Menko Hartarto) perlu ditindak lanjuti.
Grand design
Jika kita hanya memperbaiki satu atau dua departemen pemerintah itu namanya tidak mempunyai rancang bangun reformasi yang menyeluruh terhadap lembaga birokrasi pemerintah. Jadi kalau Ditjen Imigrasi dipisahkan dari Departemen Hukum dan HAM dan Jabatan Panglima TNI tidak dimintakan persetujuan DPR, usul semacam ini tidak akan memecahkan masalah lembaga birokrasi pemerintah yang menyeluruh.
Pemisahan ditjen dari departemen menjadi LPND tidak hanya di Departemen Hukum dan HAM. Banyak kasus yang sama dengan usul Prof Muladi. Jabatan panglima yang tidak dimintakan persetujuan DPR, tidak hanya menyangkut jabatan Panglima TNI, sebagaimana diusulkan Prof Juwono. Banyak jabatan politik yang perlu dijernikan pemakaian dan prosedur pengangkatannya.
Klarifikasi jabatan birokrasi dan jabatan karier birokrasi pemerintah belum ada kejelasan arti pemahamannya dan prosedur pengangkatannya. Adalah aneh dalam pemahaman ilmu (ilmiah) seorang panglima TNI, yang merupakan karier profesional, diuji (fit dan proper test) oleh anggota DPR (lembaga politik). Sementara seorang menteri yang jelas-jelas jabatan politik tidak dimintakan persetujuan DPR.
Aneh pula seorang direktur jenderal yang merupakan karier birokrat diangkat melalui persetjuan Tim Penilai Akhir (TPA). Di zaman orde baru, TPA ini disebut Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas) yang anggotanya adalah pejabat politik semuanya (mulai dari presiden, wakil presiden, para menteri terkait). Dalam lembaga tersebut, pertimbangan politik lebih kental ketimbang pertimbangan keahlian calon.
Bagaimana netralitas birokrasi bisa dijamin dan dilaksanakan dengan jujur dan baik kalau pengangkatan calon pejabat karier birokrat berbau politik. Coba kita teliti sekarang berapa persen pengangkatan eselon I oleh menteri dari parpol yang bebas parpolnya?
Sekarang ini di bidang kelembagaan birokrasi pemerintah ada menteri (kementerian) negara yang sama tugas dan kewajibannya dengan LPND. Misalnya, menteri negara perencanaan pembangunan nasional dengan Bappenas; menteri negara riset dan teknologi dengan BPPT, LIPI, dll; ada menteri negara pendayagunaan aparatur negara (PAN) dengan LAN, BKN. Belum lagi ada kasus suatu departemen dipimpin oleh menteri baru yang tidak memahami otonomi daerah (seperti diatur UU 32/2004). Kemudian menteri yang bersangkutan mengusulkan perluasan depertemennya dengan menambah, mengubah, menggabung direktorat jenderalnya dengan meminta persetujuan menteri PAN dan disetujui tanpa analisis mendalam.
Hal semacam ini belum pernah dikaji dan diteliti secara mendalam oleh pemerintah. Dengan demikian usul Prof Juwono dan Prof Muladi itu merupakan triger point bagi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintah secara mendalam dan menyeluruh. Mestinya menteri negara yang bertanggung jawab ke arah reformasi birokrasi pemerintah segera menanggapai usul kedua profesor tersebut. Dia perlu mengajukan program yang komplit dan komprehensif mengenai reformasi birokrasi pemerintah sehingga grand design-nya bisa dijadikan pedoman.

Gerakan reformasi, dengan pemberantasan KKN sebagai salah satu tuntutan pokoknya, berusaha untuk memutus warisan birokrasi Orde Baru. Berdasarkan TAP MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara dan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, reformasi birokrasi perlahan-lahan mulai dilakukan.
Reformasi birokrasi juga tidak hanya dilakukan secara internal akan tetapi secara eksternal juga. Reformasi internal meliputi pembenahan dan penguatan kelembagaan, serta meningkatkan kualitas aparat birokrasi. Reformasi eksternal meliputi penegakan hukum (produk hukum dan aparat penegak hukum), struktur politik, pembongkaran mitos budaya korupsi, dan adanya gerakan kewarganegaraan yang kuat.

2.5  Pengaruh Partai Politik terhadap Birokrasi era Orde Baru dan Pasca Orde Baru
Kedudukan birokrasi dalam kepentingan partai politik dimulai dari hasil pemilu 1955 dimana terdapat empat partai besar yang muncul sebagai pemenang pemilu kemudian setelah peristiwa prri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 partai Masyumi dibubarkan dan menyisakan tiga partai besar lainnya sebagai partai politik yang besar yang merupakan elemen dari politik nasakom pada waktu itu, masing-masing berusaha mengusai sumber daya bagi partainya masing-masing, dari semangat dan keinginan seperti ini membuat birokrasi dan netralitas birokrasi terhadap kekuatan partai politik mulai menjadi sulit bisa terhindarkan berlanjut dengan pemerintahan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi merupakan wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan Indonesia yang selanjutkan dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 terlibat langsung dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar (karena waktu itu Golkar menyatakan dirinya bukan sebagai partai politik melainkan sebagai perwakilan dari golongan fungsional) sebagai jalur B berarti dari lingkungan birokrasi, dalam hasil sistem pemilu multi partai tahun 1999 terdapat pengangkatan seorang sekretaris jenderal yang berasal dari satu partai dengan menteri kehutanan dan di beberapa kantor kementerian antara lain Diknas, BUMN dan lain sebagainya diangkat beberapa eselon satu yang juga berasal dari satu partai politik dengan menterinya selanjutnya pada pemerintahan lanjutan hasil pemilu selanjutnya para ketua partai melalui jabatan menteri mulai berusaha untuk mengikuti cara-cara sebelum tahun 1998 dijalankan kembali dengan mengaburkan antara jabatan karier dan non karier dengan mengeser jabatan-jabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang partai politik non karier dan birokrasi.
Denny JA dalam tulisan kelima pada bagian I mengingatkan bahwa tidak ada Negara modern tanpa keberadaan partai politik. Setelah terbelenggu oleh rezim otoriter Soeharto pada era orde baru, pada era reformasi para partai politik mampu bernafas dengan leluasa.
Meskipun telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan kepartaian setelah gerakan reformasi 1998, tulis Denny JA, garis primordial dan pembelahan horizontal-kultural masih amat mendominasi tipe partai-partai dengan berbagai variasi bentuknya. Tipologi partai di Indonesia -sejak dulu sampai sekarang- pada umumnya tidak mengikuti “hokum Duverger” yang mengelompokkan tipe partai dalam partai kader dan partai massa; juga tidak terbagi kedalam ideology konservatisme, liberalism dan sosialisme sebagaimana berlangsung di Dunia Barat.
Pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi saat ini, orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai dan simbol-simbol menunjukkan bagaimana para pejabat mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Pendekatan politik yang terlalu kuat telah mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal. Selama ini pegawai negeri identik sebagai pegawai pemerintah yang harus tunduk patuh pada pemerintah.Padahal antara pemerintah dan negara itu berbeda.Negara relatif tetap, sedang pemerintah bersifat periodik.Pegawai negeri adalah instrumen pemerintah dan juga instrumen negara.Tapi mental yang mestinya abdi negara masih terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, birokrasi penuh dengan pendekatan kekuasaan , padahal mestinya birokrat yang bagus itu penuh dengan profesionalisme.
Birokrasi yang berorientasi pada profesionalisme dan lepas dari kepentingan politik memang merupakan suatu keniscayaan  mengingat bahwa pucuk pimpinan birokrasi adalah para politisi yang mempunyai kedudukan sebagai ketua atau paling tidak duduk dalam jajaran kepengurusan partai politik  yang tentunya mempunyai dasar pemikiran membela kepentingan ideologi ataupun konstituen partainya.
Setidaknya ada dua penyebab yang membuat birokrasi yang tidak tergantung pada rezim politik sangat sulit berkembang di Indonesia, yakni (1) secara tradisional birokrasi dibentuk untuk mengabdi kepada pemegang kekuasaan sebagai produk dari bekerjanya pemahaman ide kekuasaan yang memusat ke tangan Raja;dan (2) pola fikir dan tindakan kita selama 32 tahun terakhir terkooptasi oleh pemahaman bahwa jabatan politis di birokrasi hanya dipegang oleh satu kekuatan politik, sehingga melahirkan pola hubungan yang dominatif, subordinatif dan marginalisasi aktor politik. Akibat kedua faktor ini, maka Pemilu lebih berfungsi sebagai arena ‘penajaman’ perbedaan kepentingan daripada upaya mencari ‘pemehaman yang sama’ mengenai masalah kenegaraan. Kemenangan dalam pemilu dipahami sebagai kemenangan dalam satu peperangan.Struktur birokrasi pun dipandang sebagai ‘pampasan perang’ yang harus dikuasai.
Orde Reformasi yang memunculkan  sistem multipartai dalam pemilu belum mampu membentuk birokrasi yang netral. Politisasi birokrasi tetap berlangsung dalam bentuk ‘parpolisasi birokrasi’ yang rentan terhadap konflik internal dalam tubuh birokrasi. Masuknya tokoh-tokoh partai politik kedalam birokrasi menyebabkan birokrasi diwarnai kepentingan partai sehingga tidak lagi sebagai agen pelayanan publik yang netral.                         
Kalau ‘parpolisasi birokrasi’ seperti tersebut diatas adalah benar , maka birokrasi akan terseret dalam konflik internal yang berpusar sekitar masalah distribusi dan alokasi nilai (sumber daya) birokrasi  diantara kekuatan politik yang menguasai birokrasi. Fokus perhatian puncak pimpinan birokrasi (pejabat politik) akan lebih banyak terserap pada bagaimana memperjuangkan kepentingan partai dan konstituennya . Akibatnya jelas, impian masyarakat akan penyelenggaraan administrasi publik yang berkualitas, akuntabel dan responsif akan semakin menjauh.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Partai Politik yang menjadi jembatan antara masyarakat biasa dan para petinggi Negara di era Orde baru tidak begitu berfungsi dengan baik, pemerintahan diatur sedemikian rupa dibawah pimpinan seorang kepala Negara yang otoriter. Negara dibentuk dengan tangannya sendiri, tanpa kritik dan komentar dari siapapun. Sedangkan partai politik pasca orde baru begitu bebas bermunculan. Banyak partai-partai baru lahir di Indonesia walaupun fungsinya belum begitu baik dijalankan.
Partai politik era orde baru tidak begitu besar mempengaruhi birokrasi, kecuali partai GolKar dimana disetiap sudut pemerintahan diletakkan andil-andil dari partai tersebut. Hampir seluruh pemerintahan dikuasai oleh partai ini dibawah kekuasaan Soeharto. Namun partai politik pasca orde baru sangat berpengaruh terhadap tatanan Negara. Karena aspirasi, usulan dan pendapatnya diterima dengan baik pada era ini.
3.2  Saran
Untuk membentuk suatu birokrasi yang baik tentu saja tidak mudah, butuh proses atau langkah-langkah yang harus ditempuh. Langkah-langkah tersebut antara lain: adanya kemauan politik pemerintah yang didukung oleh modal politik yang kuat, gerakan rakyat anti korupsi dan prinsip patriotik dalam melawan korupsi. Selama ini ada terobosan untuk menempatkan sejumlah orang yang dipandang reformis ke dalam tubuh birokrasi. Tetapi yang sering terjadi adalah ketidakmampuan orang tersebut untuk mengubah watak birokrasi yang korup karena tidak mempunyai modal politik yang cukup kuat.
Langkah kedua adalah membangun gerakan anti korupsi yang berwatak kerakyatan. Selama ini ada anggapan bahwa masalah korupsi hanya bisa diselesaikan di tingkat politik elit. Pengalaman masyarakat Seruyan Tengah, Kalimantan Tengah yang bahu-membahu menggalang kekuatan melawan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh bekas kepala adat dan anggota DPRD di daerahnya (Matt Stephens, dkk, 2006), adalah suatu bentuk kepedulian rakyat akan adanya pemberantasan korupsi secara menyeluruh.
Langkah yang ketiga adalah membangun sikap patriotik untuk melawan korupsi. Grup musik Slank dalam konser musiknya di gedung KPK (24 Maret 2008) menyatakan bahwa para koruptor adalah pengkhianat negara. Pernyataan ini tepat karena korupsi telah mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi, yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu, berbanding terbalik dengan patriotisme.






















DAFTAR PUSTAKA
 

Marijan kacung, Prof.Dr, 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi demokrasi pasca orde baru, Jakarta: Kencana
Priyono AE, Agung Widjaja, Coen Husain, Donni E, M. Qodari, Otto AY, Sofian MA. 2005. Warisan Orde Baru, Jakarta: Institud Studi Arus Informasi
Haris Syamsudin dkk. 2002. Reformasi politik dan kekuatan masyarakat, Jakarta: LP3S
A.    Prasetyantoko. 1999. Kaum Profesional menentang rezim otoriter. Jakarta: Grasindo
Gauzali Saydam. 1999. Dari Balik Suara Ke Masa Depan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru. Jakarta: Djambatan
Sulastomo. 2003. Reformasi Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Buku Kompas
Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-kabinet Republik Indonesia dari awal kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi diakses Minggu, 27 Mei 2012 12:50:23
http://masroed.wordpress.com/tag/politik-birokrasi/ diakses Rabu, 10 April 2013 14:08:45

2 komentar:

  1. Casinos Near Me - Casinos Near Me - MapYRO
    Find Casinos Near Me 경상북도 출장마사지 Near Me in 2021 - Use this simple form to 논산 출장마사지 find the 광명 출장마사지 best casinos and other 광명 출장안마 gaming 과천 출장샵 facilities near you.

    BalasHapus